Bukan Karena Tak Sayang...

23 Nov 2010

Bismillaah...
Mengingat masa sekolah adalah saat-saat menyenangkan bisa belajar dan bertemu dengan teman-teman. Namun siapa sangka, akan ada kesedihan tersirat di baliknya?

Aku dilahirkan di tengah keluarga guru yang juga PNS. Kedua orang tuaku sangat memperhatikan pendidikan anak-anaknya. Kami empat bersaudara bersekolah di SD tempat ibu mengajar yang terletak + 30 km dari rumahku. Setiap hari (kecuali hari ahad), selama bertahun-tahun, ibuku selalu memboncengkan kami ke sekolah dengan sepeda motor.
Tahun ini kakak pertamaku dan kakak keduaku. Beberapa tahun berikutnya kakak keduaku dan kakak ketigaku. Tahun berikutnya lagi kakak keduaku dan aku. Begitu rutinitas ibuku di samping mengajar, selama hampir 20 tahun. Itu untuk SD. Sedangkan aku dan kakakku masih diantar jemput ibu hingga SMP. Maklum saja, kedua orang tuaku, khususnya ibu, sangat over protective terhadap kami yang semua perempuan.

Akhirnya aku lulus SD dengan prestasi yang cukup bagus. Betapa bangganya kedua orang tuaku saat itu. Apalagi sewaktu di sekolah, aku termasuk siswa yang cukup berprestasi. Itu juga karena dorongan semangat dari ibuku. Meski aku termasuk anak yang malas belajar, ternyata Alloh menakdirkan aku untuk bisa masuk ke salah satu SMP favorit di kota Jogja. Seorang anak lulusan SD biasa-biasa saja bisa diterima di sekolah favorit, itu suatu hal yang sangat membanggakan di mata bapak dan ibu.

Menjalani hari-hari di SMP yang serba hedonis, terkadang membuat hati menjadi jengah. Akhirnya kelas 1 dan 2 kulewatkan tanpa prestasi yang membanggakan. Sempat kehilangan teman dan kesepian membuatku berjanji untuk menunjukkan kepada semua orang yang memandang sebelah mata bahwa aku lebih pintar dari mereka (hehe... niat yang jelek, jangan ditiru ya!). Benar saja, akhirnya aku lulus dengan nilai yang bagus sehingga aku bisa melanjutkan sekolah di sala satu SMA unggulan di kota Jogja yang murid-muridnya terkenal dengan "keluguan" dan "tampang rajin"-nya. Kadang disebut sekolah ndeso di tengah kota Jogja. It's wonderful school...

Di SMA aku sibuk dengan berbagai macam ekstrakulikuler mulai dari Tonti (=peleton inti), Rohis, dan seabrek kegiatan lain. Rohis dan Tonti adalah dua kegiatan yang sangat menyita waktuku. Setiap pulang sekolah, aku tidak langsung pulang, kalau nggak latihan Tonti ya pasti rapat Rohis. Bisa dibilang aku dulu adalah aktivis. Pulang sekolah jam 2 siang, sampai rumah pasti sudah maghrib. Terkadang bapak sampai harus menjemputku ke sekolah kalau aku latihan sampai sore. Akhirnya sampai rumah aku sudah capek (jarak rumah-sekolah + 40 km) dan malamnya nggak bisa belajar. Jangankan belajar, PR aja lebih banyak dikerjakan di sekolah (lagi-lagi jangan ditiru yaa... jelek tuh!). Walhasil, prestasiku di SMA jeblok sejeblok-jebloknya. Sampai akhirnya aku harus masuk IPS (tapi IPS nggak "hina" lho, ya!). Tapi justru di IPS itu lah aku sangat menikmati sekolah, karena teman-temanku di IPA sebagian besar jadi "stres" akibat tekanan belajar yang berlebihan.

Selepas SMA, akhirnya aku ikut SPMB dan berhasil kuliah di fakultas Psikologi sebuah PTN terkenal di kota Gudeg (nggak usah sebut merk lah!) dengan sumbangan Rp 0,00. Wajar aja kedua orang tuaku sangat senang. Mereka membayangkan anaknya ini akan menjadi seorang Psikolog dan bekerja di sebuah perusahaan besar atau menjadi PNS seperti mereka. Itu juga yang dulu sempat aku impikan. Sampai aku mengetahui hukum wanita bekerja dengan ber-ikhtilaat. Semakin mendekati kelulusan, aku semakin gundah. Kedua orang tuaku terus menyatakan harapannya kepadaku, bahwa kelak aku akan menjadi pegawai yang sukses.

Aku merasa takut... Di satu sisi aku ingin membahagiakan mereka, di sisi lain aku tau bahwa imanku pasti hancur jika aku melangkahkan kaki masuk ke dunia kerja. Aku yakin tidak akan sanggup istiqomah. Tapi bagaimana aku harus menyampaikan semua ini kepada mereka? Akhirnya sebelum lulus (saat skripsi) aku nekat melamar menjadi guru di sebuah TKIT di Jogja. Alhamdulillaah, aku diterima. Semula orang tuaku sama sekali tidak keberatan. Aku menempuh jarak yang panjang dan melelahkan demi sebuah label, "Pak, Bu, aku tidak akan menjadi pengangguran meski aku ngaji". Aku takut mereka akan mencarikan aku pekerjaan di sekolah mereka karena ibuku kepala sekolah dan bapak juga guru, mudah aja kalau aku mau menjadi guru honorer di sekolah mereka agar kelak bisa diangkat PNS. Benar saja, begitu ada pendaftaran CPNS, langsung saja aku disuruh mendaftar. Spontan aku menolak mentah-mentah. Aku bilang bahwa aku sudah menandatangani kontrak di TK selama 1 tahun. Bapak dan ibu kecewa dan marah besar, "Harusnya kamu bilang kalau mau tanda tangan kontrak. Itu sama saja menghambat masa depanmu. Kamu itu masih tanggung jawab bapak dan ibu, jadi kalau mau mengambil keputusan penting harusnya bilang dulu".

Rasa bersalah dan kesedihan menumpuk menjadi satu. Mereka telah menyekolahkan aku dengan susah payah. Berharap aku menjadi wanita yang bisa mandiri. Ibu selalu mendidik kami agar tidak boleh tergantung kepada siapapun termasuk suami. Mereka ingin agar kami bisa mandiri dalam penghasilan meskipun telah menikah, agar kami bisa bersiap jika sesuatu terjadi dalam pernikahan kami. Mereka juga telah bersusah payah membiayai kuliahku yang sangat mahal. Tegakah aku menepiskan harapan mereka??

Akhirnya aku mengakhiri dilema ini sesaat dengan menikah. Aku berharap setelah ini aku bisa menghindar dari harapan mereka. Aku baru tau, ketika suamiku melamarku, kedua orang tuaku berpesan kepada mertuaku agar aku jangan sampai menganggur. Terbebani pesan seperti itu, mertuaku sempat menawarkan berbagai pekerjaan yang berhubungan dengan dunia mengajar kepadaku. Tapi aku tidak mungkin menerimanya karena ada beberapa hal yang tidak sesuai syar'i. Berada di tengah dilema seperti ini aku sempat stres. Namun suamiku terus meneguhkan aku. Apakah dia melarangku bekerja? Tidak, asalkan pekerjaanku itu tidak melanggar syari'at, termasuk tidak ikhtilaat.

Sempat aku ditawari mengajar di salah satu SDIT di Purwokerto (namun tetap harus menjalani tes untuk formalitas). Aku senang sekali karena aku memang suka sekali mengajar, selain itu SD itu milik salah seorang ustadz yang bermanhaj salaf. Qodarulloh SD itu juga senang menerima lulusan Psikologi seperti aku yang juga punya pengalaman mengajar. Aku langsung mengabarkan kepada orang tuaku dan mereka begitu senang karena aku mau bekerja lagi. Ibu mengumpulkan semua bahan yang bisa kupelajari untuk microteaching. Qodarullohu walhamdulillaah... sewaktu aku sedang bersiap untuk tes masuk, si kecil hadir di antara kami. Setelah menunggu selama 17 bulan, akhirnya aku hamil!

Keadaan ini membuatku semakin bingung meski aku juga sangat bahagia dengan kehadirannya. Namun bapak mertuaku mengkhawatirkan keadaanku dan menasehati suamiku agar melarangku mengajar di SDIT tersebut. Suamiku tau aku sangat berharap bisa mengajar lagi untuk membahagiakan bapak dan ibu, namun beliau juga mengkhawatirkan kehamilanku. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang ke Bumiayu. Berakhir sampai di sini? Tidak. Sampai detik ini kedua orang tuaku masih berusaha membujukku untuk ikut tes CPNS. Terkadang ibu sudah mengerti aku tidak ingin menjadi seorang pegawai. Namun impian beliau yang ingin melihat putri-putrinya "mandiri" di masa tua membuat pengertiannya kadang kembali goyah. Aku sudah menjelaskan berkali-kali. Terkadang beliau seperti memahami, terkadang seperti lupa akan apa yang kuinginkan. Mungkin memahami meski dengan berat hati.

Dan suamiku?? Ketika aku bertanya padanya, apakah aku memang harus bekerja, suamiku berkata, "Tanpa ade' bekerja maz masih bisa membiayai kebutuhan kita." Iseng aku bertanya, "Kenapa tidak boleh?" Jawabnya, "Tidak syar'i. Sebaik-baik tempat bagi ade' adalah di rumah." Terus? Tanyaku. "Kalau ade' bekerja, anak kita sama siapa?"
Mazku benar... sebanyak apapun godaan dan ujian, memang sebaik-baik penentram hati adalah pendamping yang sholih. Bersamanya, kini aku berjuang membangun kebahagiaan kami meski banyak onak dan duri... Jazaakallohu khoiron yaa habibi...

Ibu, Bapak... semoga kalian mengerti apa yang menjadi kegundahanku selama ini. Melihat wajah renta kalian sungguh membuatku ingin menangis, mengapa aku tidak sanggup memenuhi harapan kalian. Sedangkan aku ingin sekali, meski cuma sekali seumur hidupku, aku bisa membuat kalian bangga. Bukan karena tak sayang... bukan karena tak cinta... juga bukan karena aku tidak tau balas budi...
Justru karena sangat menyayangi kalian, aku tega menolak semua permintaan itu. Wahai orang tuaku terkasih... haruskah aku menggadaikan senyummu dengan murka Alloh Ta'ala?? Akan ada jalan, di mana keteguhan ini akan mengantarkan kepada kebahagiaan kalian yang sesungguhnya atas keputusanku ini, insyaalloh...


*dipublish atas request seseorang*

4 komentar:

cizkah mengatakan...

hwa....mesti ngerasa bersalah banget ya Wi...
Bener2 orangtua udah susah payah banget biayain dan nyekolahin kita...kesannya tanpa bekas kalo kita gak kerja dan gak ngasilin apa2 buat diri kita dan ortu.

Semoga Allah memberi ganjaran yang jauuuuuuuuh lebih baik, dan semoga dengan jalan yang kita gak bisa pikirkan pake nalar, kita bisa membahagiakan orangtua, naikin haji orangtua...kalo bukan kita...maka mudah2an anak kita...semoga Allah memanjangkan umur orantua kita dalam ketaatan dan hidayah-Nya

si kecil mengatakan...

aamiin! iya mbaa.. semoga masih ada kesempatan untuk membahagiakan orang tua kita.. baarokallohu fiik..

ummu hafiy mengatakan...

makasih ya,udah ngingetin mbakmu ini yg hampir "jatuh"...smga qt bs buktikan pd ortu qt bhw apa yang qt pilih tdk membuat qt menderita...hikz..hikz...

si kecil mengatakan...

yup.. insyaalloh.. there's another way.. ^^

Posting Komentar