Dua Tahun dan Rumah Sakit

15 Feb 2013


Bulan ini Ashima genap berusia dua tahun. Penyapihannya sudah selesai dengan lancar, alhamdulillaah. Meski jam tidurnya mundur dan aku harus begadang selama beberapa hari, namun Ashima bisa melaluinya dengan baik. Tinggal toilet trainingnya yang belum juga lulus. Mungkin karena Ashima sering sekali kami ajak pergi ke luar kota.

Qadarallaah, genap di usianya yang kedua, Ashima terkena flu. Awalnya dia diajak jalan-jalan naik motor oleh kakeknya. Pagi-pagi bangun tidur dan belum mandi Ashima naik motor cukup jauh tanpa jaket. Pulang-pulang qadarallaah hidungnya meler. Waktu mandi dia ribut, "ibu, umbel." Tak cek, ternyata benar dia flu. Aku tidak panik sama sekali karena Ashima tergolong anak yang jarang sakit dan jarang ke dokter. Kalau sakit pun tidak pernah lama.
Dua hari kemudian, kami pergi ke rumah adik ipar. Qadarallaah kedua keponakan suami demam + batpil. Aku tidak kepikiran Ashima akan tertular karena dia sendiri pilek dan biasanya daya tahan tubuhnya bagus meski sakit. Namun memang benar sebuah hadits yang memerintahkan untuk menjauhi sumber penyakit. Qadarallaah dua hari setelahnya Ashima mulai batuk dan badannya demam. Dua hari demamnya di atas 38 derajat dan kuberi sanmol. Aku pikir radangnya kena lagi. Aku masih bingung akan membawanya ke dokter atau tidak. Ingat Ashima yang susah makan antibiotik membuat kami ragu.
Hari kedua demamnya mencapai 39,2 derajat. Dia masih mau minum meski sedikit dan malas makan. Seharian dia terlihat lemas dan minta gendong, padahal dia paling tidak bisa diam. Akhirnya aku mendaftarkannya berobat ke rumah sakit depan rumah. Alhamdulillaah, ada dokter anak yang sedang praktik. Tapi qadarallaah hujan turun tak berhenti-henti. Menjelang maghrib baru hujan agak reda. Antrian dokter anak di rumah sakit ini selalu luar biasa. Ashima dengan panas tinggi mendapat antrian 56 meski sudah mendaftar lebih dini.
Sewaktu menunggu antrian Ashima minta jalan-jalan. Dia minta turun dari geendonganku. Dan waktu kugandeng tiba-tiba dia jatuh. Sontak semua orang di ruangan itu berteriak kaget. Kuangkat tubuhnya dan aku shock saat tubuhnya terasa kaku dengan kedua tangan mengepal. Matanya sudah membelalak. Aku segera berlari memanggil maz, "maz, Ashima kejang!" Orang-orang di ruangan itu ikut panik. Tanpa peduli antrian, aku langsung menerobos masuk ruangan dokter. "Dokter, tolong anak saya kejang!" Kataku sambil menahan tangis. Aku membaringkan Ashima yang langsung dimiringkan dan diberi turun panas lewat dubur. Ludah keluar banyak dari mulutnya. Aku panik luar biasa namun tetap berusaha realistis. Aku sadar kejang demam tidak akan berakibat fatal jika ditangani dengan baik.
Namun semua teori itu menguap. Melihat Ashima yang kejang membuatku ingin menangis keras. Aku hanya bisa menahan air mata sambil terus mengusap wajahnya dan memanggil namanya. Akhirnya dokter menyuruh kami membawanya ke UGD karena Ashima tidak juga sadar. Maz berlari membawa Ashima ke UGD diikuti aku. Di UGD dokter jaga dan perawat segera memasang oksigen ke Ashima. Aku masih saja memanggil namanya, berharap dia segera merespon panggilanku. Dia sadar dan menangis saat infus dipasang ke tangannya. Namun setelah itu kata dokter kembali kejang (atau menurutku sebenarnya Ashima mengantuk dan kelelahan karena tidak bisa tidur seharian).
Dokter memberi opsi untuk pulang dengan resiko masih bisa terjadi kejang atau rawat inap. Menimbang kondisi Ashima yang lemah dan rasa trauma kami jika Ashima kembali kejang, akhirnya kami memilih Ashima diopname saja. Ashima masih lemas dan terus menerus minta kugendong. Namun di tengah sakitnya dia masih bisa menjawab pertanyaan dokter tentang nama lengkapnya dan masih bisa tertawa di sela tangisnya saat kuajak bercanda. Sampai akhirnya dia tertidur lelap di gendonganku. Karena tidak mau digendong selain aku, akhirnya aku meminjam kursi roda yang nantinya akan menjadi "kendaraan pribadi" Ashima selama di rumah sakit.
Sewaktu menunggui ashima di UGD, ternyata ada dua orang anak seusinya yang juga mengalami kejang demam. Satu anak perempuan usia 2 tahun dan satunya anak laki-laki usia 19 bulan bernama Raihan. Raihan ini baru saja pulang periksa dari dokter anak di rumah sakit ini tapi di perjalanan tiba-tiba dia kejang. Begitu masuk UGD ibunya langsung menghambur dan berteriak-teriak memanggil dokter dan perawat. Dia menangis memanggil-manggil nama anaknya sambil terus memeluknya. Melihat pemandangan ini sungguh membuatku sedih. Aku teringat saat Ashima tiba-tiba kejang. Masih kuingat wajahnya yang mulai membiru dan mulutnya yang menganga. Aku hampir tak kuasa menahan tangis saat tangis ibu itu pecah. Namun aku menahannya sambil memeluk Ashima. Alhamdulillaah Ashima sudah siuman. Insyaallaah ayah dan ibu akan berusaha lebih berhati-hati, de.. Raihan ini baru sadar setelah 2 jam kejang. Alhamdulillaah Ashima waktu itu langsung sadar begitu diinfus.
Setelah pindah ke ruang perawatan, malamnya Ashima tidur tanpa gangguan, hanya infusnya yang membuatku sulit ikut istirahat karena Ashima tidurnya gerak-gerak terus.
Tidak tega meninggalkanku yang sedang hamil merawat Ashima sendirian (mertuaku masih bekerja), maz pun berinisiatif mengambil cuti sampai Ashima keluar dari rumah sakit. Benar saja, tanpa maz mungkin aku tak akan sanggup merawat Ashima sendirian dalam kondisi lemah seperti sekarang. Ashima yang biasanya aktif merasa sangat terganggu dengan infus di tangannya. Kami harus mengingatkannya berkali-kali agar tenang dalam melakukan gerakan. Terkadang dia menurut, namun kalau sudah bosan di kamar, dia minta keluar dan jalan-jalan. Kalau tidak dituruti pasti marah-marah. Dari pagi hingga malam dia minta jalan-jalan di lorong. Istirahat hanya diselingi tidur dan mandi (itu pun harus memakai adegan dipaksa atau dimarahi). Yang sangat mengesalkan, ada penunggu pasien yang suka ngobrol sampai subuh dengan suara keras. Menjengkelkan dan sangat mengganggu mengingat pasien dan orang yang menunggu tentu butuh istirahat. Sayangnya tidak ada petugas RS yang menegurnya.
Susahnya lagi, RS ini dilengkapi taman bermain kecil yang ada jungkat-jungkit, ayunan dan perosotan. Nah, Ashima ini setiap jalan-jalan selalu minta ke sana. Dengan infus masih terpasang, dia nekat mau main ayunan dan perosotan. Akhirnya karena tidak dituruti dia mengamuk yang membuat infusnya macet berulang kali.
Sebenarnya Ashima anak yang pengertian, dia memahami setiap penjelasan yang kami katakan. Hanya saja kebosanannya sudah memuncak, ditambah tangannya yang terbelit infus membuat aktifitasnya terbatas. Infus itu harus tetap terpasang selama di RS, membuatku ikut frustasi karena tidak bisa "menangani" amukan Ashima seperti biasanya. Alhamdulillaah, Ashima meski rewel namun masih bisa diajak kompromi (terutama kalau aku sudah mulai marah -efek lelah-). Anak-anak di ruangan lain ternyata lebih parah karena berusaha mencabut infusnya sendiri. Ashima sudah tau kalau dia harus berhati-hati dengan tangannya yang diinfus, namun namanya anak-anak tak jarang dia lupa jika sedang asyik main atau lagi ngamuk.
Selama empat hari tiga malam Ashima menginap di RS dan masih akan diperpanjang karena suhu tubuhnya yang masih belum stabil ditambah makannya yang masih sulit. Namun alhamdulillaah, dokter mengijinkan Ashima pulang dengan berbekal antibiotik minum dan turun panas lewat dubur. Entah kenapa aku sudah sulit percaya pada sanmol. Hehe..
Awalnya kami mau membawa Ashima pulang di tengah pengobatan. Namun antibiotiknya ternyata via infus dan disuntikkan 8 jam sekali. Kalau Ashima pulang berarti dia harus disuntik di pantat setiap 8 jam sekali. Akhirnya dengan keadaanku yang juga terserang flu parah dan kehilangan suara, plus maz yang juga ambruk (dipaksa Ashima jalan-jalan sepanjang hari), kami berusaha bertahan. Alhamdulillaah, stress Ashima terhadap infus dan RS tidak berlangsung lama. Begitu sudah bisa turun dari tempat tidur, dia sudah beredar kesana kemari dengan infus di tangan. Sampai saat dokter melakukan kunjungan, pasti Ashima sedang tidak ada di kamar. Orang-orang pun berkata, "anak sakit kok lincahnya luar biasa." Perawat pun sampai hapal dan kalau Ashima di kamar selalu ditanya, "udah capek jalan-jalannya ya, de?"
Alhamdulillaah Ashima tidak pernah menangis saat disuntik, bahkan saat diambil darahnya dia diam saja. Waktu mendapat kunjungan konseling dari petugas RS dia juga tidak takut dan menjawab semua pertanyaan dengan berani. Cuma, kalau diperiksa pak dokter pakai stetoskop, langsung deh minta gendong ayahnya sambil memasang muka mau menangis. Hehe..
Alhamdulillaah, sekarang Ashima tinggal batuknya aja. Syafakillaah.. Semoga sehat terus ya, sayang.. Ayah dan ibu akan lebih berhati-hati dalam menjagamu, insyaallaah..

2 komentar:

Unknown mengatakan...

subhanallah begitu sayangnya orang tua pada anaknya...
semoga cepat sembuh ya..
sebentar lagi saya juga punya momongan, doakan saja ya.. :)

sikecil mengatakan...

Insyaallaah.. Semoga dimudahkan persalinannya dan menjadi anak shalih/shalihah..

Posting Komentar